BAB
I
PENDAHULUAN
A.
LATAR
BELAKANG
Timbulnya
qodariyah ini sebagai isyarat menentang kebijaksanaan politik Bani Umayah yang
dianggapnya kejam. Apabila firqoh jabariyah berpendapat bahwa khalifah bani
umayah membunuh orang, hal itu karena sudah ditakdirkan Allah Swt. Demikian dan
hal ini berarti merupakan topeng kekejamannya, maka firqoh qodariyah mau
membatasi qadar tersebut. Mereka
mengatakan bahwa kalau allah Swt. Itu adil, maka allah swt akan menghukum orang
yang bersalah dan member pahala kepada orang yang berbuat baik.
B.
RUMUSAN
MASALAH
1. Apa
pengertian Qodariah ?
2. Bagaimana
munculnya Qodariah ?
3. Apa
doktrin-doktrin pokok qodariah ?
C. TUJUAN MASALAH
1. Memahami
pengertian Qodariah
2. Memahami
munculnya qodariah
3. Mengetahui
doktri-doktrin pokok qodariah
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
PENGERTIAN
QODARIAH
Qodariah
berasal dari bahasa arab qadara, yang
artinya kemampuan dan kekuatan. Menurut pengertian terminology, qodariah adalah
aliran yang percaya bahwa segala tindakan manusia tidak diintervensi tangan
Tuhan. Aliran ini berpendapat bahwa tiap-tiap orang adalah pencipta bagi segala
perbuatannya; ia dapat berbuat sesuatu atau meninggalkannya atas kehendaknya
sendiri. Berdasarkan pengertian tersebut, dapat dipahami bahwa qodariah
digunakan untuk nama aliran yang memberi penekanan atas kebebasan dan kekuatan
manusia dalam mewujudkan perbuatan-perbuatannya. Dalam hal ini, Harun Nasution
turut menegaskan bahwa kaum qodariah berasal dari pengertian bahwa manusia
mempunyai qudrah atau kekuatan untuk
melaksanakan kehendaknya, dan bukan berasal dari pengertian bahwa manusia
terpaksa tunduk kepada qodar Tuhan.
Seharusnya,
sebutan qodariah diberikan kepada aliran yang berpendapat bahwa qodar telah menentukan
segala tingkah laku manusia, baik yang bagus maupun yang jahat. Sebutan
tersebut telah melekat pada aliran yang percaya bahwa manusia mempunyai
kebebasan berkehendak.
B.
MUNCULNYA
QODARIAH
Qodariyah
mula-mula timbul sekitar tahun 70 H/689 M, di pimpin oleh ma’bad al-juhni
al-Bisri dan Ja’ad bin Dirham, pada masa pemerintahan khalifah abdul malik bin
marwan (685-705 M).
Munculnya
qodariah dan tokoh-tokohnya merupakan dua tema yang diperdebatkan. Menurut
ahmad amin, ada para ahli teologi yang mengatakan bahwa qodariah pertama
dimunculkan oleh Ma’bad Al-jauhani dan Ghailan ad-Dimasyqy. Ma’bad adalah
seorang taba’i yang dapat dipercaya dan pernah berguru kepada hasan al-Bisri.
Sementara, Ghailan adalah seorang orator berasal dari Damaskus dan ayahnya
menjadi maula Utsman bin Affan.
Ibnu
nabatah dalam kitabnya syarh Al-Uyun, seperti
dikutip ahmad amin (1886-1954 M), memberi informasi lain bahwa yang pertma kali
memunculkan paham qodariah adalah orang irak yang semula beragama kristen
kemudian masuk islam dan kembali ke agama kristen. Dari orang inilah ma’bad dan
Ghailan mengambil paham ini. Orang irak yang dimaksud, sebagaimana dikatakan
Muhammad Ibnu Syu’ib yang memperoleh informasi dari al-Auzai adalah Susan.
Artikel
yang menjelaskan paham qodariah yang terdapat dalam kitab Risalah dan ditulis untuk khalifah abdul malik oleh Hasan al-Basri
sekitar tahun 700 M. Hasan al-Basri (642-728) adalah anak seorang yang
berstatus tahanan di Irak, lahir di madinnah, tetapi pada tahun 657 pergi ke
Basrah dan tinggal disana sampai akhir hayatnya.
Dalam
kitab Risalah ini, ia percaya bahwa
manusia bebas memilih antara berbuat baik atau berbuat buruk. Mereka mengatakan
bahwa allah itu adil, maka allah akan menghukum orang yang bersalah dan memberi
pahala kepada orang yang berbuat baik. Manusia harus bebas memilih dalam
menentukan nasibnya sendiri dengan memilih perbuatan yang baik ataupun buruk.
Jika allah menentukan takdir manusia dan memaksakan berlakunya, maka allah itu
dzalim. Karena itu manusia harus merdeka memilih atau ikhtiar bebas atas
perbuatannya.
Orang-orang
yang berpendapat bahwa amal perbuatan dan nasib manusia hanyalah tergantung
pada takdir allah saja, selamat atau celaka sudah ditentukan oleh takdir allah
sebelumnya, maka pendapat tersebut adalah sesat. Sebab pendapat tersebut
berarti menentang keutamaan allah dan berarti menganggapnya pula yang menjadi
sebab terjadinya kejahatan-kejahatan. Jadi, firqoh qodariah menolak adanya
takdir allah dan berpendapat bahwa manusia bebas merdeka menentukan
perbuatannya.
Menurut
Ahmad Amin ia menyatakan bahwa ma’bad Al-jauhani pernah belajar kepada Hasan
Al-Basri. Jadi sangat mungkin paham qodariah ini mula-mula dikembangkan Hasan
Basri. Dengan demikian, keterangan yang ditulis oleh ibn Nabatah dalam Syarh Al-Uyun yang mengatakan bahwa
paham qodariah berasal dari orang irak Kristen yang masuk islam kemudian
kembali ke Kristen, ada kemungkinan direkayasa oleh orang yang tidak sependapat
dengan paham ini, agar orang-orang tidak tertarik dengan pikiran qodariah.
Faham
qodariyah segera mendapat pengikut yang cukup banyak. Sebagian terdapat di irak
dengan bukti bahwa gerakan ini terjadi pada pengajian Hasan Al-Basri. Pendapat
ini dikuatkan oleh pendapat ibn Nabatah bahwa yang mencetuskan pendapat pertama
tentang masalah ini adalah seorang Kristen dari irak yang telah masuk ke islam
dan dari orang ini diambil oleh ma’bad dan Ghailan. Sebagian yang lain
berpendapat bahwa paham ini muncul di Damaskus disebabkan oleh pengaruh
orang-orang Kristen yang banyak dipekerjakan di istana-istana khalifah. Paham
qodariyah mendapat tantangan keras dari umat islam ketika itu.
Ada
beberapa hal yang mengakibatkan terjadinya reaksi keras terhadap paham qodariah
:
1. Seperti
pendapat Harun Nasution, karena masyarakat arab sebelum islam dipengaruhi oleh paham
fatalis. Kehidupan bangsa arab ketika itu serba sederhana dan jauh dari
pengetahuan. Mereka selalu terpaksa mengalah pada keganasan alam, panas yang
menyengat, serta tanah dan gunungnya yang gundul. Mereka merasa dirinya lemah
dan tidak mampu menghadapi kesukaran hidup yang ditimbulkan oleh alasan
sekelilingnya. Paham it uterus dianut meskipun mereka sudah beragama islam.
Oleh karena itu, ketika paham qodariah dikembangkan, mereka tidak dapat
menerimanya. Paham qodariah dianggap bertentangan dengan doktrin islam.
2. Tantangan
dari pemerintah, tantangan ini sangat mungkin terjadi karena para pejabat
pemerintahan ketika itu menganut paham jabariah. Ada kemungkinan juga pejabat
pemerintah menganggap gerakan paham qodariah merupakan suatu usaha menyebarkan
paham dinamis dan daya kritis rakyat, yang mampu mengkritik kebijakan-kebijakan
mereka yang dianggap tidak sesuai, bahkan dapat menggulingkan mereka dari tahta
kerajaan.
C.
DOKTRIN-DOKTRIN
POKOK QODARIAH
Harun
Nasution menjelaskan pendapat Ghalian tentang doktrin qodariah bahwa manusia
berkuasa atas perbuatan-perbuatannya; manusia yang melakukan, baik atas
kehendak maupun kekuasaannya, dan manusia pula yang melakukan atau menjauhi
perbuatan-perbuatan jahat atau kemauan dan dayanya. Salah seorang pemuka
qodariah yang lain, An-Nazzam mengemukakan bahwa manusia hidup mempunyai daya.
Selagi hidup manusia mempunyai daya, ia berkuasa atas segala perbuatannya.
Dari
beberapa penjelasan diatas, dapat dipahami bahwa doktrin qodariah pada dasarnya
menyatakan bahwa segala tingkah laku manusia dilakukan atas kehendaknya
sendiri. Manusia dalam hal ini mempunyai kewenangan untuk melakukan segala
perbuatannya atas kehendaknya sendiri, baik berbuat baik maupun berbuat jahat.
Oleh karena itu, ia berhak mendapatkan pahala atas kebaikan-kebaikan yang
dilakukannya dan berhak pula memperoleh hukuman atas kejahatan-kejahatan yang
diperbuatnya.
Paham
takdir dalam pandangan qodariah bukan dalam pengertian takdir yang umum di
pakai oleh bangsa arab ketika itu, yaitu paham yang mengatakan bahwa nasib
manusia telah ditentukan terlebih dahulu. Dalam perbuatan-perbuatannya, manusia
hanya bertindak menurut nasib yang telah ditentukan semenjak ajal terhadap
dirinya. Dalam paham qodariah takdir adalah ketentuan allah yang diciptakan-Nya
berlaku untuk alam semesta beserta seluruh isinya semenjak ajal, yaitu hukum
yang dalam istilah al-qur’an adalah sunnatullah.
Secara
alamiah, sesungguhnya manusia telah memiliki takdir yang tidak dapat diubah.
Manusia dalam dimensi fisiknya tidak dapat berbuat lain, kecuali mengikuti
hukum alam. Misalnya, manusia ditakdirkan oleh tuhan tidak mempunyai sirip,
seperti dimiliki ikan sehingga dapat berenang dilautan lepas. Demikian juga
manusia tidak mempunyai kekuatan seperti gajah yang mampu membawa barang
berates kilogram, tetapi manusia ditakdirkan mempunyai daya pikir yang kreatif.
Demikian juga anggota tubuh lainnya dapat berlatih sehingga dapat tampil
membuat sesuatu. Dengan daya pikir yang kreatif dan anggota tubuh yang dapat
dilatih terampil, maka manusia memiliki kebebasan yang sangat luas.
Dengan
pemahaman seperti ini, kaum qodariah berpendapat bahwa tidak ada alasan yang
tepat menyandarkan segala perbuatan manusia pada perbuatan Tuhan. Banyak ayat
al-Quran yang dapat mendukung pendapat ini, misalnya dalam surat Al-Kahfi : 29
Katakanlah:
"Kebenaran itu datangnya dari Tuhanmu; maka barangsiapa yang ingin
(beriman) hendaklah ia beriman, dan barangsiapa yang ingin (kafir) biarlah ia
kafir".
“Berbuatlah
apa yang kamu kehendaki, sesungguhnya dia melihat apa yang kamu perbuat”. (QS Fushilat : 40)
“Bagaimana apabila bencana menimpa
diri kamu sedang kamu telah menimpakan bencana yang berlipat ganda, sedang kamu
bertanya : dari mana datangnya (kekalahan) ini ? katakanlah dari kamu sendiri.”
(QS.
Al-imron 164)
“sesungguhnya allah tidak akan mengubah keadaan
suatu kaum sebelum mereka mengubah keadaan diri mereka sendiri.”
BAB
III
PENUTUP
A.
KESIMPULAN
Qodariah
adalah aliran yang percaya bahwa segala tindakan manusia tidak diintervensi
tangan Tuhan. Aliran ini berpendapat bahwa tiap-tiap orang adalah pencipta bagi
segala perbuatannya; ia dapat berbuat sesuatu atau meninggalkannya atas
kehendaknya sendiri. Berdasarkan pengertian tersebut, dapat dipahami bahwa
qodariah digunakan untuk nama aliran yang memberi penekanan atas kebebasan dan
kekuatan manusia dalam mewujudkan perbuatan-perbuatannya.
Qodariyah
mula-mula timbul sekitar tahun 70 H/689 M, di pimpin oleh ma’bad al-juhni
al-Bisri dan Ja’ad bin Dirham, pada masa pemerintahan khalifah abdul malik bin
marwan (685-705 M).
doktrin
qodariah pada dasarnya menyatakan bahwa segala tingkah laku manusia dilakukan
atas kehendaknya sendiri. Manusia dalam hal ini mempunyai kewenangan untuk
melakukan segala perbuatannya atas kehendaknya sendiri, baik berbuat baik
maupun berbuat jahat. Oleh karena itu, ia berhak mendapatkan pahala atas
kebaikan-kebaikan yang dilakukannya dan berhak pula memperoleh hukuman atas
kejahatan-kejahatan yang diperbuatnya.
DAFTAR
PUSTAKA
Nasir,
A. Sahilun, 2010, Pemikiran Kalam teologi
Islam, Jakarta : RajaGrafindo Persada
Rozak, Abdul, dan Anwar Rosihon, 2012, Ilmu Kalam, Bandung : Pustaka Setia