Tugas
individu
PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN
(Tugas mata kuliah PPKn)
Di
susun oleh :
Novi
Yuliandari (1411030186)
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI RADEN
INTAN LAMPUNG
FAKULTAS TARBIYAH DAN KEGURUAN
TAHUN AJARAN 2014/2015
PEMBAHASAN
A. SEJARAH PERKEMBANGAN PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN
Perjalanan panjang sejarah perjuangan bangsa Indonesia yang
dimulai sejak, sebelum, dan selama penjajahan. Kemudian dilanjutkan dengan era
perebutan dan mempertahankan kemerdekaan sampai dengan era pengisian
kemerdekaan menimbulkan kondisi dan tuntutan yang berbeda sesuai dengan
zamannya. Dalam kaitannya dengan semangat perjuangan bangsa, maka perjuangan
non fisik sesuai dengan bidang profesi masing-masing memerlukan sarana kegiatan
pendidikan bagi setiap warga negara Indonesia pada umumnya. Selain itu juga
bagi mahasiswa sebagai calon cendekiawan pada khususnya yaitu melalui
pendidikan kewarganegaraan. Pada tahun 1950 Pendidikan Kewarganegaraan terdapat
pada pendidikan sekolah menengah keatas (SMA) dimana dikatakan bahwa kewarganegaraan
yang diberikan disamping tata negara adalah tugas dan kewajiban warga negara
terhadap pemerintah, masyarakat, keluarga, dan diri sendiri. Namun, pelajaran
tersebut tidak diberikan secara ilmu pengetahuan melainkan sebagai dasar yang
berjiwa nasional serta kewarganegaraan yang baik.
Tujuan pelajaran tersebut adalah untuk membangkitkan dan
memelihara keinsyafan dan kesadaran bahwa warga Negara Indonesia memiliki
tanggung jawab terhadap diri sendiri, masyarakat dan Negara.
Pada tahun 1991 mata pelajaran pendidikan kewarganegaraan
digunakan untuk memberi pengertian tentang pidato kenegaraan presiden ditambah
dengan pancasila, sejarah pergerakan, hak dan kewajiban warga Negara. Pada
tahun 1991 istilah kewarganegaraan diganti dengan istilah kewargaan Negara atas
prakarsa Dr Saharjo dengan alasan untuk menyesuaikan dengan pasal 26 ayat 2 UUD
1945 yang menekankan pada warga yang mengandung pengertian atas hak dan
kewajiban terhadap Negara.
B. PENGERTIAN PENDIDIKAN
KEWARGANEGARAAN
Pendidikan kewarganegaraan bukan sesuatu yang baru
dalam sejarah pendidikan nasional di Indonesia. Beragam model dan sebutan bagi
pendidikan kewarganegaraan dengan bermacam komponennya telah banyak dilakukan
pemerintah republik Indonesia. Di antara nama-nama tersebut antara lain:
pelajaran civics (1957/1962),
pendidikan kemasyarakatan yang merupakan integrasi sejarah, ilmu bumi, dan
kewarganegaraan (1964), pendidikan kewargaan Negara (1968/1969), pendidikan
kewarganegaraan, civics, dan hukum (1973), pendidikan moral pancasila atau PMP
(1975/1984), dan PPKn (1994). Dalam pelaksanaannya pendidikan kewarganegaraan
ini mengacu pada surat keputusan Dirjen Dikti No. 267/Dikti/Kep./2000 tentang
penyempurnaan kurikulum mata kuliah pengembangan kepribadian pendidikan
kewarganegaraan di perguruan tinggi, yang selanjutnya, di perbarui dengan surat
keputusan Dirjen Dikti No. 38/Dikti/2002 tentang rambu-rambu pelaksanaan mata
kuliah pengembangan kepribadian di perguruan Tinggi.
Pendidikan kewarganegaraan (civic education) atau Civics memiliki
banyak pengertian dan istilah. Menurut Muhammad Numan Somantri merumuskan
pengertian civics sebagai ilmu
kewarganegaraan yang membicarakan hubungan manusia dengan :
1. Manusia
dalam perkumpulan-perkumpulan yang terorganisasi (organisasi sosial, ekonomi,
politik)
2. Individu-individu
dengan Negara. Makna civics selalu
didefinisikan sebagai sebuah study tentang pemerintahan dan kewarganegaraan
yang terkait dengan kewajiban, hak, dan hak-hak istimewa warga Negara.
C. TUJUAN
PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN
Adalah
menjadikan warga Negara yang cerdas, bermartabat, dan aktif dalam kehidupan
berbangsa dan bernegara. Namun demikian, alih-alih mendidik bangsa menjadi
warga Negara lebih cerdas dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, pendidikan
kewarganegaraan, khususnya sepanjang kekuasaan orde baru, elah direkayasa
sebagai alat untuk melanggengkan kekuasaan melalui cara-cara indoktrinasi,
manipulasi atas demokrasi dan dasar Negara pancasila, melalui tindakan dan
kebijakan paradoks penguasa orde baru. Sikap paradoks pemerintah orde baru
terlihat dari tidak sejalannya antara program pendidikan kewiraan dan pancasila
dengan perilaku elite orde baru dalam mengelola Negara yang penuh dengan
praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN). Dengan ungkapan lain, pendidikan
kewarganegaraan dan pancasila lebih banyak diorientasikan untuk melayani
penguasa daripada sebagai media pembentukan karakter bangsa.
Salah
satu contoh tindakan antidemokrasi yang mencolok adalah praktik politik uang (money politics) dalam pemilihan kepala
daerah. Bentuk lain dari praktik korupsi ini seakan sudah menjadi keyakinan
masyarakat bahwa uang telah menjadi syarat mutlak seseorang yang hendak menjadi
pemimpin.
Konsekuensi
logis dari penyakit moral dan pembelokan atas janji-janji reformasi ini adalah
peluang munculnya ketidakpuasan masyarakat yang menyulut tindakan-tindakan
anarkis sosial. Namun demikian, hal ini bisa dihindari dengan komitmen semua
pihak, utamanya kalangan birokrasi dan kelas menengah Indonesia, namun
membudayakan politik bersih, aman, dan murah.
Pendidikan
kewarganegaraan bertujuan untuk membangun karakter (character building) bangsa Indonesia yang antara lain :
a. Membentuk
kecakapan partisipatif warga Negara yang bermutu dan bertanggung jawab dalam
kehidupan berbangsa dan bernegara.
b. Menjadikan
warga Negara Indonesia yang cerdas, aktif, kritis, dan demokratis, namun tetap
memiliki komitmen menjaga persatuan dan integritas bangsa.
c. mengembangkan
kultur demokrasi yang berkeadaban, yaitu kebebasan, persamaan, toleransi dan
tanggung jawab.
D.
PARADIGMA
PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN (civic
education)
Pendidikan kewarganegaraan
mengembangkan paradigma pembelajaran demokratis, yakni orientasi pembelajaran
yang menekankan pada upaya pemberdayaan mahasiswa sebagai bagian warga Negara
Indonesia secara demokratis.
Paradigma demokratis dalam proses
pendidikan kewarganegaraan ini dalam implementasinya adalah suatu proses
pembelajaran yang menempatkan peserta didik sebagai subjek dari pada objek
pembelajaran, sementara pengajar (dosen dan guru) berperan sebagai fasilator
atau mitra belajar peserta didik dalam seluruh proses pembelajaran dikelas.
paradigma demokratis ini adalah
sebagai upaya pembelajaran yang diarahkan agar peserta didik tidak hanya
mengetahui sesuatu (learning to know),
melaikan dapat belajar untuk menjadi (learning
to be) manusia yang bertanggung jawab sebagai individu dan mahkluk sosial
serta belajar untuk melakukan sesuatu (learning
to do) yang didasari oleh pengetahuan yang dimilikinya.
E.
URGENSI
PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN BAGI PEMBANGUNAN
BUDAYA DEMOKRASI DI INDONESIA
Menurut Ahmad Syafi’i Ma’arif, demokrasi
bukanlah sebuah wacana, pola pikir, atau perilaku politik yang dapat dibangun
sekali jadi. Menurutnya, demokrasi adalah proses di mana masyarakat dan Negara
berperan di dalamnya untuk membangun kultur dan system kehidupan yang dapat
menciptakan kesejahteraan, menegakkan keadilan baik secara sosial, ekonomi,
maupun politik. Dari sudut pandang ini, demokrasi dapat tercipta apabila
masyarakat dan pemerintah bersama-sama membangun kesadaran akan pentingnya
demokrasi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Dua alasan, menurut azra, mengapa
pendidikan kewarganegaraan merupakan kebutuhan mendesak bagi bangsa Indonesia
dalam membangun demokrasi nya.
a) Meningkatnya
gejala dan kecenderungan political
illiteracy, tidak melek politik dan tidak mengetahui cara kerja demokrasi
dan lembaga-lembagaannya di kalanan warga Negara.
b) Meningkatkan
political apathism (apatisme politik)
yang di tunjukan dengan sedikitnya keterlibatan warga Negara dalam
proses-proses politik.
Jika demokrasi merupakan sesuatu
yang tidak bisa di tawar-tawar atau dimundurkan (poin of no threturn) bagi bangsa Indonesia, maka pendidikan kewarganegaraan
(civic education) adalah salah satu
upaya penyemaian budaya demokrasi. Upaya ini tidak bisa diabaikan oleh bangsa
yang memiliki komitmen kuat menjadi lebih demokrasi dan bermartabat.
F. PANCASILA,
NKRI, UUD 1945, BHINEKA TUNGGAL IKA
Pancasila, NKRI, UUD 1945, Bhineka
Tunggal Ika adalah harga mati bagi bangsa Indonesia. Keempat pilar nasional itu
harus bersinergi dan demokratis yang sudah menjadi pilihan bagi gerakan
reformasi. Keragaman dalam persatuan yang tergambar dari selogan Bhineka Tunggal
Ika dalam Pancasila, merupakan ruang kreatif bagi bangsa Indonesia. Prinsip
kemajemukan dalam pancasila dapat bersinergis secara dinamis dengan
prinsip-prinsip demokrasi yang lahir dan berkembang dan situasi sosial yang
majemuk, sekalipun ia muncul dari tradisi barat. Prinsip kemajemukan dalam
persatuan Indonesia memberikan ruang sah bagi munculnya pemikiran dan pandangan
yang beragam, bahkan kemungkinan lahirnya tafsir dan pandangan baru atas
pancasila sekalipun. Keragaman ini akan selalu ditoleransi sepanjang tidak
berlawanan dengan pesan moral kelima sila pancasila dan melahirkan ancaman
terhadap sendi-sendi kesatuan bangsa dan eksistensi NKRI.
Kemajemukan dalam persatuan tentu
saja tidak bertentangan dengan prinsip demokrasi yang mengatur dan menjamin
keragaman politik, sosial, dan budaya, tetapi berjalan secara dinamis, bila
dijalankan secara konsekuen, demokrasi dapat menjadi unsur penguat bagi
karakter bangsa Indonesia yang majemuk. Sepanjang orde baru, misalnya pancasila
telah menjadi ideologi pelayanan pemerintah orde baru, yang dijadikan sebagai
legitimasi bagi tindakan tidak demokratis dan anarkis terhadap warga Negara.
Praktik korupsi, kolusi, nepotisme semasa orde baru telah mengebiri pancasila
itu sendiri. Pancasila tidak saja terpasung oleh kebijakan pemerintah, ia juga
menjadi ideologi yang tertutup, terpusat dan antikritik. Untuk menghindari
sikap dan tindakan acuh terhadap pancasila, upaya pembudayaan dan akulturasi
terhadapnya mutlak dilakukan, khususnya oleh pemerintah. Salah satu upaya tersebut
adalah menjadikan pancasila pada posisinya sebagai ideologi bangsa, penuntun
masa depan dan pemersatu Indonesia. Sebagai sebuah mahakarya para pendiri
bangsa, pancasila dirumuskan sesuai karakter dan kebutuhan bangsa Indonesia
sepanjang masa.
Selogan bhineka tunggal ika harus
terus dijaga bersama sebagai unsure penting bagi eksistensi Indonesia dan harus
dikembangkan menjadi komponen pendewasaan Indonesia untuk menjadi bangsa yang
modern, demokratis, toleran sebagai prasyarat menjadi warga Negara yang
berperadaban. Pancasila sebagai obat penawar bagi beragam persoalan kebangsaan
dengan gagasan revitalisasi pancasila dengan menghangatkan kembali pancasila
sebagai haluan bersama bangsa Indonesia dalam kehidupan berbangsa dan
bernegara.
G. STANDAR
KOMPETENSI DAN KOMPETENSI DASAR PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN
1. Standar
kompetensi
Standar kompetensi adalah Kualifikasi atau
ukuran kemampuan dan kecakapan seseoarang yang mencakup seperangkat
pengetahuan, sikap, dan keteramplan. Dengan demikian, Standar kompetensi
pendidikan kewarganegaraan adalah menjai warga Negara yang cerdas dan
berkeadaban. Artinya kemampuan sesorang
untuk menyesuaikan diri, memilih, dan mengembangkan lingkungannya. Intelegensi berkenaan dengan tiga kemampuan
individu berinteraksi dengan lingkungannya yaitu kemampuan adaptasi,
konstruktif dan selektif. Dengan demikian, civic intelligence dirumuskan
sebagai kemmpuan seseorang untuk mengetahui dan menghayati hak dan kewajibannya
sebagai warga masyarakat, serta mentransformasikan nilai-nilai tersebut dalam
kehidupannya sehari-hari. Konsep pendidikan kewarganegaraan seperti inilah
diharapkan mampu merespon kebutuhan masyarakat Indonesia abad ke-21.
2. Kompetensi
dasar
Dalam pembelajaran pendidikan kewarganegaraan, kompetensi
dasar, atau sering disebut kompetensi minimal, yang akan ditransformasi dan
ditransmisikan pada peserta didik terdiri dari tiga jenis: pertama kompetensi
pengetahuan kewarganegaraan yaitu kemampuan dan kecakapan yang terkait dengan
materi inti pendidikan kewarganegaraan, yaitu demokrasi hak asasi manusia dan
masyarakt madani, kedua kompetensi sikap kewarganegaraan yaitu kemampuan dan
kecakapan yang terkait dengan kesadaran dan komitmen warga Negara lain komitmen
akan kesetaraan gender, toleransi, kemajemukan, dan komitmen untuk peduli serta
terlibat dalam penyelesaian persoalan-persoalan warga Negara yang terkait
dengan pelanggaran HAM, ketiga kompetensi keterampilan kewarganegaraan yaitu
kemampuan dan kecakapan mengaartikulasikan keterampilan kewarganegaraan seperti
kemampuan berpartisipasi dalam proses pembuatan kebijakan publik, kemampuan
melakuakan kontrol terhadap penyelenggara Negara dan pemerintahan.
DAFTAR PUSTAKA
Rojak, Abdul dan A. Ubaidillah.
2003. Pendidikan Kewarganegaraan Civic Education.Jakarta: Renada Media
Group.
Suteng bambang. 2000. Pendidikan Kewarganegaraan. Jakarta:Erlangga.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar