Selasa, 15 Desember 2015

Sejarah perkembangan pendidikan kewarganegaraan


Tugas individu

PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN
(Tugas mata kuliah PPKn)

Di susun oleh :
Novi Yuliandari            (1411030186)




INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI RADEN INTAN LAMPUNG
FAKULTAS TARBIYAH DAN KEGURUAN
TAHUN AJARAN 2014/2015














PEMBAHASAN

A.    SEJARAH PERKEMBANGAN PENDIDIKAN  KEWARGANEGARAAN

Perjalanan panjang sejarah perjuangan bangsa Indonesia yang dimulai sejak, sebelum, dan selama penjajahan. Kemudian dilanjutkan dengan era perebutan dan mempertahankan kemerdekaan sampai dengan era pengisian kemerdekaan menimbulkan kondisi dan tuntutan yang berbeda sesuai dengan zamannya. Dalam kaitannya dengan semangat perjuangan bangsa, maka perjuangan non fisik sesuai dengan bidang profesi masing-masing memerlukan sarana kegiatan pendidikan bagi setiap warga negara Indonesia pada umumnya. Selain itu juga bagi mahasiswa sebagai calon cendekiawan pada khususnya yaitu melalui pendidikan kewarganegaraan. Pada tahun 1950 Pendidikan Kewarganegaraan terdapat pada pendidikan sekolah menengah keatas (SMA) dimana dikatakan bahwa kewarganegaraan yang diberikan disamping tata negara adalah tugas dan kewajiban warga negara terhadap pemerintah, masyarakat, keluarga, dan diri sendiri. Namun, pelajaran tersebut tidak diberikan secara ilmu pengetahuan melainkan sebagai dasar yang berjiwa nasional serta kewarganegaraan yang baik.
Tujuan pelajaran tersebut adalah untuk membangkitkan dan memelihara keinsyafan dan kesadaran bahwa warga Negara Indonesia memiliki tanggung jawab terhadap diri sendiri, masyarakat dan Negara.
Pada tahun 1991 mata pelajaran pendidikan kewarganegaraan digunakan untuk memberi pengertian tentang pidato kenegaraan presiden ditambah dengan pancasila, sejarah pergerakan, hak dan kewajiban warga Negara. Pada tahun 1991 istilah kewarganegaraan diganti dengan istilah kewargaan Negara atas prakarsa Dr Saharjo dengan alasan untuk menyesuaikan dengan pasal 26 ayat 2 UUD 1945 yang menekankan pada warga yang mengandung pengertian atas hak dan kewajiban terhadap Negara.



B.      PENGERTIAN PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN
Pendidikan kewarganegaraan bukan sesuatu yang baru dalam sejarah pendidikan nasional di Indonesia. Beragam model dan sebutan bagi pendidikan kewarganegaraan dengan bermacam komponennya telah banyak dilakukan pemerintah republik Indonesia. Di antara nama-nama tersebut antara lain: pelajaran civics (1957/1962), pendidikan kemasyarakatan yang merupakan integrasi sejarah, ilmu bumi, dan kewarganegaraan (1964), pendidikan kewargaan Negara (1968/1969), pendidikan kewarganegaraan, civics, dan hukum (1973), pendidikan moral pancasila atau PMP (1975/1984), dan PPKn (1994). Dalam pelaksanaannya pendidikan kewarganegaraan ini mengacu pada surat keputusan Dirjen Dikti No. 267/Dikti/Kep./2000 tentang penyempurnaan kurikulum mata kuliah pengembangan kepribadian pendidikan kewarganegaraan di perguruan tinggi, yang selanjutnya, di perbarui dengan surat keputusan Dirjen Dikti No. 38/Dikti/2002 tentang rambu-rambu pelaksanaan mata kuliah pengembangan kepribadian di perguruan Tinggi.
Pendidikan kewarganegaraan (civic education) atau Civics memiliki banyak pengertian dan istilah. Menurut Muhammad Numan Somantri merumuskan pengertian civics sebagai ilmu kewarganegaraan yang membicarakan hubungan manusia dengan :
1.      Manusia dalam perkumpulan-perkumpulan yang terorganisasi (organisasi sosial, ekonomi, politik)
2.      Individu-individu dengan Negara. Makna civics selalu didefinisikan sebagai sebuah study tentang pemerintahan dan kewarganegaraan yang terkait dengan kewajiban, hak, dan hak-hak istimewa  warga Negara.


C.     TUJUAN PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN
Adalah menjadikan warga Negara yang cerdas, bermartabat, dan aktif dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Namun demikian, alih-alih mendidik bangsa menjadi warga Negara lebih cerdas dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, pendidikan kewarganegaraan, khususnya sepanjang kekuasaan orde baru, elah direkayasa sebagai alat untuk melanggengkan kekuasaan melalui cara-cara indoktrinasi, manipulasi atas demokrasi dan dasar Negara pancasila, melalui tindakan dan kebijakan paradoks penguasa orde baru. Sikap paradoks pemerintah orde baru terlihat dari tidak sejalannya antara program pendidikan kewiraan dan pancasila dengan perilaku elite orde baru dalam mengelola Negara yang penuh dengan praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN). Dengan ungkapan lain, pendidikan kewarganegaraan dan pancasila lebih banyak diorientasikan untuk melayani penguasa daripada sebagai media pembentukan karakter bangsa.
Salah satu contoh tindakan antidemokrasi yang mencolok adalah praktik politik uang (money politics) dalam pemilihan kepala daerah. Bentuk lain dari praktik korupsi ini seakan sudah menjadi keyakinan masyarakat bahwa uang telah menjadi syarat mutlak seseorang yang hendak menjadi pemimpin.
Konsekuensi logis dari penyakit moral dan pembelokan atas janji-janji reformasi ini adalah peluang munculnya ketidakpuasan masyarakat yang menyulut tindakan-tindakan anarkis sosial. Namun demikian, hal ini bisa dihindari dengan komitmen semua pihak, utamanya kalangan birokrasi dan kelas menengah Indonesia, namun membudayakan politik bersih, aman, dan murah.    
Pendidikan kewarganegaraan bertujuan untuk membangun karakter (character building) bangsa Indonesia yang antara lain :
a.       Membentuk kecakapan partisipatif warga Negara yang bermutu dan bertanggung jawab dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
b.      Menjadikan warga Negara Indonesia yang cerdas, aktif, kritis, dan demokratis, namun tetap memiliki komitmen menjaga persatuan dan integritas bangsa.
c.       mengembangkan kultur demokrasi yang berkeadaban, yaitu kebebasan, persamaan, toleransi dan tanggung jawab.


D.    PARADIGMA PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN (civic education)
Pendidikan kewarganegaraan mengembangkan paradigma pembelajaran demokratis, yakni orientasi pembelajaran yang menekankan pada upaya pemberdayaan mahasiswa sebagai bagian warga Negara Indonesia secara demokratis.
Paradigma demokratis dalam proses pendidikan kewarganegaraan ini dalam implementasinya adalah suatu proses pembelajaran yang menempatkan peserta didik sebagai subjek dari pada objek pembelajaran, sementara pengajar (dosen dan guru) berperan sebagai fasilator atau mitra belajar peserta didik dalam seluruh proses pembelajaran dikelas.
paradigma demokratis ini adalah sebagai upaya pembelajaran yang diarahkan agar peserta didik tidak hanya mengetahui sesuatu (learning to know), melaikan dapat belajar untuk menjadi (learning to be) manusia yang bertanggung jawab sebagai individu dan mahkluk sosial serta belajar untuk melakukan sesuatu (learning to do) yang didasari oleh pengetahuan yang dimilikinya.


E.     URGENSI PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN BAGI PEMBANGUNAN  BUDAYA DEMOKRASI DI INDONESIA  
Menurut Ahmad Syafi’i Ma’arif, demokrasi bukanlah sebuah wacana, pola pikir, atau perilaku politik yang dapat dibangun sekali jadi. Menurutnya, demokrasi adalah proses di mana masyarakat dan Negara berperan di dalamnya untuk membangun kultur dan system kehidupan yang dapat menciptakan kesejahteraan, menegakkan keadilan baik secara sosial, ekonomi, maupun politik. Dari sudut pandang ini, demokrasi dapat tercipta apabila masyarakat dan pemerintah bersama-sama membangun kesadaran akan pentingnya demokrasi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Dua alasan, menurut azra, mengapa pendidikan kewarganegaraan merupakan kebutuhan mendesak bagi bangsa Indonesia dalam membangun demokrasi nya.
a)      Meningkatnya gejala dan kecenderungan political illiteracy, tidak melek politik dan tidak mengetahui cara kerja demokrasi dan lembaga-lembagaannya di kalanan warga Negara.
b)      Meningkatkan political apathism (apatisme politik) yang di tunjukan dengan sedikitnya keterlibatan warga Negara dalam proses-proses politik.
            Jika demokrasi merupakan sesuatu yang tidak bisa di tawar-tawar atau dimundurkan (poin of no threturn) bagi bangsa Indonesia, maka pendidikan kewarganegaraan (civic education) adalah salah satu upaya penyemaian budaya demokrasi. Upaya ini tidak bisa diabaikan oleh bangsa yang memiliki komitmen kuat menjadi lebih demokrasi dan bermartabat.


F.      PANCASILA, NKRI, UUD 1945, BHINEKA TUNGGAL IKA
            Pancasila, NKRI, UUD 1945, Bhineka Tunggal Ika adalah harga mati bagi bangsa Indonesia. Keempat pilar nasional itu harus bersinergi dan demokratis yang sudah menjadi pilihan bagi gerakan reformasi. Keragaman dalam persatuan yang tergambar dari selogan Bhineka Tunggal Ika dalam Pancasila, merupakan ruang kreatif bagi bangsa Indonesia. Prinsip kemajemukan dalam pancasila dapat bersinergis secara dinamis dengan prinsip-prinsip demokrasi yang lahir dan berkembang dan situasi sosial yang majemuk, sekalipun ia muncul dari tradisi barat. Prinsip kemajemukan dalam persatuan Indonesia memberikan ruang sah bagi munculnya pemikiran dan pandangan yang beragam, bahkan kemungkinan lahirnya tafsir dan pandangan baru atas pancasila sekalipun. Keragaman ini akan selalu ditoleransi sepanjang tidak berlawanan dengan pesan moral kelima sila pancasila dan melahirkan ancaman terhadap sendi-sendi kesatuan bangsa dan eksistensi NKRI.
            Kemajemukan dalam persatuan tentu saja tidak bertentangan dengan prinsip demokrasi yang mengatur dan menjamin keragaman politik, sosial, dan budaya, tetapi berjalan secara dinamis, bila dijalankan secara konsekuen, demokrasi dapat menjadi unsur penguat bagi karakter bangsa Indonesia yang majemuk. Sepanjang orde baru, misalnya pancasila telah menjadi ideologi pelayanan pemerintah orde baru, yang dijadikan sebagai legitimasi bagi tindakan tidak demokratis dan anarkis terhadap warga Negara. Praktik korupsi, kolusi, nepotisme semasa orde baru telah mengebiri pancasila itu sendiri. Pancasila tidak saja terpasung oleh kebijakan pemerintah, ia juga menjadi ideologi yang tertutup, terpusat dan antikritik. Untuk menghindari sikap dan tindakan acuh terhadap pancasila, upaya pembudayaan dan akulturasi terhadapnya mutlak dilakukan, khususnya oleh pemerintah. Salah satu upaya tersebut adalah menjadikan pancasila pada posisinya sebagai ideologi bangsa, penuntun masa depan dan pemersatu Indonesia. Sebagai sebuah mahakarya para pendiri bangsa, pancasila dirumuskan sesuai karakter dan kebutuhan bangsa Indonesia sepanjang masa.
            Selogan bhineka tunggal ika harus terus dijaga bersama sebagai unsure penting bagi eksistensi Indonesia dan harus dikembangkan menjadi komponen pendewasaan Indonesia untuk menjadi bangsa yang modern, demokratis, toleran sebagai prasyarat menjadi warga Negara yang berperadaban. Pancasila sebagai obat penawar bagi beragam persoalan kebangsaan dengan gagasan revitalisasi pancasila dengan menghangatkan kembali pancasila sebagai haluan bersama bangsa Indonesia dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.





G.    STANDAR KOMPETENSI DAN KOMPETENSI DASAR PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN
1.      Standar kompetensi
      Standar kompetensi adalah Kualifikasi atau ukuran kemampuan dan kecakapan seseoarang yang mencakup seperangkat pengetahuan, sikap, dan keteramplan. Dengan demikian, Standar kompetensi pendidikan kewarganegaraan adalah menjai warga Negara yang cerdas dan berkeadaban.  Artinya kemampuan sesorang untuk menyesuaikan diri, memilih, dan mengembangkan lingkungannya.  Intelegensi berkenaan dengan tiga kemampuan individu berinteraksi dengan lingkungannya yaitu kemampuan adaptasi, konstruktif dan selektif. Dengan demikian, civic intelligence dirumuskan sebagai kemmpuan seseorang untuk mengetahui dan menghayati hak dan kewajibannya sebagai warga masyarakat, serta mentransformasikan nilai-nilai tersebut dalam kehidupannya sehari-hari. Konsep pendidikan kewarganegaraan seperti inilah diharapkan mampu merespon kebutuhan masyarakat Indonesia abad ke-21.

2.      Kompetensi dasar
            Dalam pembelajaran pendidikan kewarganegaraan, kompetensi dasar, atau sering disebut kompetensi minimal, yang akan ditransformasi dan ditransmisikan pada peserta didik terdiri dari tiga jenis: pertama kompetensi pengetahuan kewarganegaraan yaitu kemampuan dan kecakapan yang terkait dengan materi inti pendidikan kewarganegaraan, yaitu demokrasi hak asasi manusia dan masyarakt madani, kedua kompetensi sikap kewarganegaraan yaitu kemampuan dan kecakapan yang terkait dengan kesadaran dan komitmen warga Negara lain komitmen akan kesetaraan gender, toleransi, kemajemukan, dan komitmen untuk peduli serta terlibat dalam penyelesaian persoalan-persoalan warga Negara yang terkait dengan pelanggaran HAM, ketiga kompetensi keterampilan kewarganegaraan yaitu kemampuan dan kecakapan mengaartikulasikan keterampilan kewarganegaraan seperti kemampuan berpartisipasi dalam proses pembuatan kebijakan publik, kemampuan melakuakan kontrol terhadap penyelenggara Negara dan pemerintahan.






DAFTAR PUSTAKA

Rojak, Abdul dan A. Ubaidillah. 2003. Pendidikan Kewarganegaraan Civic Education.Jakarta: Renada Media Group.
Suteng bambang. 2000. Pendidikan Kewarganegaraan. Jakarta:Erlangga.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar